Senin, 04 Januari 2016

Perkembangan saluran pencernaan ruminansia



 Perkembangan saluran pencernaan ruminansia

Lambung ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut bulu), dan abomasum (perut sejati) (Gambar 1).
Omasum disebut sebagai perut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit.

Gambar 1. Lambung ruminansia terdiri atas empat ruangan yaitu rumen, retikulum, omasum   dan abomasum

Pada anak yang masih menyusu dua ruangan pertama yaitu rumen dan retikulum, relatif masih belum berkembang. Oleh karena itu, susu ketika mencapai lambung disalurkan melalui suatu lipatan yang mirip tabung, yang dikenal dengan nama esofageal atau reticular groove, langsung ke ruangan ke tiga atau ke empat yaitu omasum dan abomasum. Setelah anak sapi atau domba mulai memakan makanan padat dua ruangan pertama yaitu retikulum dan rumen (reticulorumen) menjadi membesar, sampai pada hewan dewasa meliputi 85% kapasitas total lambung. Pada hewan dewasa, esofageal tidak berfungsi pada keadaan pemberian makan normal. Oleh karena itu, baik air atau makanan akan lewat masuk ke retikulo-rumen. Akan tetapi, refleks penutupan tabung tersebut untuk membentuk saluran dapat dirangsang bahkan pada hewan dewasa, khususnya jika hewan tersebut diberikan minum lewat kran. Makanan akan diencerkan oleh sejumlah saliva encer, pertama-tama selama makan dan sekali lagi selama pemamahan (ruminasi). Jumlah saliva yang dihasilkan per hari adalah 150 liter pada sapi dan 10 liter pada domba. Isi rumen rata-rata mengandung 850-930 g air/kg, akan tetapi sering kali berada dalam dua fase yaitu fase cair di bagian bawah, dimana partikel makanan yang lebih halus akan tersuspensi, dan lapisan lebih atas yang lebih kering terdiri atas bahan padatan yang lebih kasar. Perombakan makanan sebagian dicapai melalui cara fisik dan sebagian dengan cara kimia. Abomasum dan usus halus tempat makanan akan dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh hewan inang, dan hasil pencernaan akan diserap  (Tilman, et al. 1982).
Fungsi anatomik sistem cerna menurut posisinya terhadap diafragma dapat dikelompokkan menjadi saluran cerna pradiafragma dan pascadiafragma (Constantinescu dan Constantinescu 2010). Sistem cerna pradiafragma mencakup mulut, bibir, lidah, gigi, palatum dan kelenjar ludah. Sistem cerna pascadiafragma mencakup oesophagus, reticulum, rumen, omasum, abomasum, usus halus dan usus besar. Mastikasi (mengunyah) merupakan awal proses pencernaan pakan secara mekanis yang dilakukan dengan melemahkan struktur dan integritas sel bahan pakan. Mastikasi melibatkan sistem gigi, terutama molar. Aktivitas ini disertai dengan proses hidrasi terhadap materi pakan dengan insalivasi. Insalivasi yang terjadi di dalam rongga mulut terjadi melalui sekresi saliva dari kelenjar parotid, kelenjar mandibular dan kelenjar sublingual. Saliva pada ruminansia mengandung elektrolit, terutama ion bikarbonat (HCO3 -), fosfat (HPO4 2-), K+ dan Na+ serta mukus, dan bersifat basa dengan pH sekitar 8,2. Saliva pada ruminansia tidak mengandung enzim, namun fungsi hidratif terhadap bahan pakan oleh saliva sangat penting dalam proses pencernaan.


Gambar 2. Skematis hubungan fungsional organ cerna pada kambing (Aliran pakan ditunjukkan oleh tanda panah di dalam kompartemen)

Proses mastikasi dan insalivasi sangat berperan antara lain dalam: (i) Lubrikasi dan maserasi bahan pakan untuk memudahkan proses menelan dan meningkatkan konsumsi; (ii) Meningkatkan areal permukaan partikel pakan untuk mempercepat proses kolonisasi mikroba rumen; (iii) Persiapan untuk hidrasi lanjutan oleh cairan dan enzim perncernaan; dan (iv) Melepaskan sebagian komponen pakan yang mudah larut dari komponen pakan lain yang lebih sulit larut.  Organ pradiafragma lain yaitu pharynx dan oesophagus berperan dalam proses deglutinasi yang merupakan refleks fisiologis yang terjadi setelah terbentuknya bolus. Deglutinasi bertujuan untuk mempersiapkan bolus sebelum ditelan. Proses ini diawali dengan menekankan lidah ke bagian pharynx (hard palate) di dalam rongga mulut. Oesphagus pada kambing berfungsi dalam memobilisasi pakan baik ke arah cranial maupun caudal, berperan dalam mengeluarkan gas (eruktasi) dan regurgitasi untuk proses ruminasi. Proses ruminasi diawali dengan kontraksi gerakan antiperistaltik otot oesophagus yang mendorong pakan di dalam reticulum kembali ke dalam rongga mulut (Lu et al. 2005).
Organ cerna pascadiafragma terdiri dari lambung dengan beberapa segmen (rumen, reticulum, omasum dan abomasum) dan usus (usus kecil dan usus besar) (Kawas et al. 2012).
Rumen dipisahkan dari reticulum yang berkapasitas 1-2 liter oleh esophageal groove. Kedua organ cerna ini (reticulo-rumen) merupakan organ utama tempat terjadinya pencernaan fermentatif anaerobik yang dilakukan oleh populasi bakteri, fungi dan protozoa.  reticulo-rumen juga berfungsi sebagai organ absorbsi dan sekaligus organ ekskresi bagi produk hasil fermentasi. Reticulum juga berperan dalam menyalurkan pakan dari dalam rumen menuju omasum dengan melakukan kontraksi yang memiliki efek mencampur dan mendorong pakan.
Omasum berperan dalam mengontrol homogenitas kandungan air dalam bahan pakan yang telah melalui proses degradasi yang mengalir dari reticulo-rumen.  Peran omasum yang sangat penting adalah regulasi pelepasan digesta dari reticulo-rumen ke abomasum (Constantinescu dan Constantinescu 2010).
Usus kecil yang terdiri dari segmen duodenum, jejunum dan ileum merupakan lokasi utama berlangsungnya proses pencernaan secara enzimatis setelah proses pencernaan fermentatif. Organ ini juga berperan penting dalam penyerapan nutrisi (protein, lemak, vitamin dan mineral)  cepat. Pada ruminansia lain, seperti sapi dan domba kapasitas Usus besar yang terdiri dari caecum, kolon dan rektum merupakan tempat utama terjadinya proses dehidrasi terhadap digesta yang mengalir dari usus kecil.

Sumber

Constantinescu, G.M dan I.A. Constantinescu. 2010. Functional Anatomy of the Goat. In: Solaiman SG editor. Goat Science and Production. Wiley-Blackwell. 425 p.

Kawas, J.R., O.G. Mahgoub and C.D. Lu. 2012. Nutrition of the Meat Goat. In: Mahgoub, O., I.T. Kadim and E.C. Webb. editors. Goat Meat Production and Quality.CABI. p. 161-195.

Lu, C.D., J.R. Kawas andO.G. Mahgoub. 2005. Fibre digestion and utilization in goats. Small Rumin Res. 60:45-52.

Tilman, A.D., H. Hartadi., S. Reksohadiprojo., S. Prawirokusumo, and S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 

Konsep LEISA untuk Pengelolaan Sumberdaya Pakan di Lahan Kering Perkebunan


MAKALAH
“Konsep LEISA untuk Pengelolaan Sumberdaya Pakan di Lahan Kering Perkebunan”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pakan oleh Prof. Dr. Ir. Sumarsono, MS




Oleh :
Nurul Frasiska    23010114410004
Dwi Wijayanti     23010114410008
Rochayah             23010114410014


 








PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU TERNAK
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015


I.                   PENDAHULUAN

Negara-negara maju seperti Australia, New Zealand dan negara-negara di Amerika Selatan mengembangkan industri peternakan dengan cara memanfaatkan padang penggembalaan karena ketersediaan lahan yang masih luas sebagai area penggembalaan ternak. Negara-negara Eropa mengembangkan industri peternakan bertumpu pada kelimpahan produksi biji-bijian. Namun dengan kenaikan harga minyak bumi dan dalam upaya mengurangi pemanasan global, sebagian biji-bijian tersebut dipergunakan untuk memproduksi bioetanol. Hal ini secara langsung berdampak terhadap meningkatnya harga pangan dunia, termasuk daging sapi dan susu. Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak mempunyai areal yang luas untuk padang penggembalaan, kecuali di NTT, NTB dan beberapa wilayah lain di Kawasan Timur Indonesia (Diwyanto dan Priyanti, 2008). Disamping itu, produksi biji-bijian masih sangat terbatas, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masih harus mengimpor dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu pengembangan ternak ruminansia di Indonesia harus memanfaatkan sumber serat, energi dan protein yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri.


II.                PEMBAHASAN
A.    Konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture)
Konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) sebagai arah baru bagi pertanian konvensional (HEIA : High External Input Agriculture), sangat cocok dilaksanakan pada sistim pertanian negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengingat negara kita dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam yang terkandung di tanah air kita sangat memungkinkan konsep LEISA ini menjadi konsep pertanian masa depan yang diharapkan mampu mengantarkan bangsa kita menjadi bangsa yang besar dengan tingkat kemakmuran dan kemandirian yang lestari sehingga mampu bersaing menghadapi persaingan bebas pada waktu yang akan datang.
Konsep LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agro-ekologi serta pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional (Suwandi, 2005). Agro-ekologi merupakan studi holistik tentang ekosistim pertanian termasuk semua unsur lingkungan dan manusia. Dengan pemahaman akan hubungan dan proses ekologi, agroekosistim dapat dimanipulasi guna peningkatan produksi agar dapat menghasilkan secara berkelanjutan, dengan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan maupun sosial serta meminimalkan input eksternal. Secara singkat konsep LEISA dapat dijabarkan sebagai berikut:

LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut (Suryana, 2007):
  1. Berusaha mengoptimalkan sumber daya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
  2. Berusaha mencari cara pemanfaatan  input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi  unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan.
LEISA (Low external input sustainable  agriculture) tidak bisa dipresentasikan sebagai solusi mutlak terhadap masalah-masalah pertanian dan lingkungan yang mendadak di dunia ini, tetapi LEISA bisa memberikan kontribusi yang berharga untuk memecahkan beberapa permasalahan tersebut: LEISA terutama merupakan suatu pendekatan pada pembangunan pertanian yang ditujukan pada situasi di daerah-daerah pertanian tadah hujan yang terabaikan oleh pendekatan-pendekatan konvensional (Mayadewi, 2007).
Konsep LEISA (Low Eksternal Input Sustainable Agriculture) merupakan penyangga pola pertanian terpadu.  Konsep LEISA yang dilaksanakan akan melahirkan manfaat dan keuntungan, yaitu :
·            Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
·            Maksimalisasi Daur Ulang (Zero Waste)
·            Minimalisasi Kerusakan Lingkungan (Ramah Lingkungan)
·            Diversifikasi Usaha
·            Pencapaian Tingkat Produksi Yang Stabil Dan Memadai Dalam Jangka Panjang
·            Menciptakan Kemandirian
Tekhnologi tepat guna dalam penerapan konsep LEISA adalah :
·            Bagaimana mengubah limbah pertanian menjadi sumber daya (Feed) dan pemanfaatannya.
·            Bagaimana mengubah limbah peternakan menjadi sumberdaya (Compost) dan pemanfaatannya baik sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan,kehutanan maupun untuk budidaya perikanan (Suharto, 2004).

B.     LEISA Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pakan Lahan Kering Perkebunan
Arah Integrated Farming System yang harus dilakukan adalah menuju ke konsep LEISA (Low  External Input Sustainable Agriculture) yaitu konsep perkebunan yang terpadu, berkesinambungan, menekan penggunaan input Ekternal dan memaksimalkan penggunaan input internal sehingga akan diperoleh suatu system usaha perkebunan yang efisien dan berdaya saing global. Perlahan tapi pasti di integrasi pertanian, perkebunan dan peternakan akan  menuju ke konsep LEISA dengan tujuan :
§  Suatu usaha perkebunan yang terpadu
§  Suatu usaha perkebunan ramah lingkungan
§  Suatu usaha perkebunan yang tanpa limbah
§  Suatu usaha perkebunan berbasis lokal sehingga tahan menghadapi krisis
§  Suatu usaha perkebunan menghasilkan produk organik yang berkualitas baik dan mempunyai harga lebih baik
§  Suatu usaha perkebunan yang mempunyai diversifikasi berbagai produk; sehingga mengurangi resiko kegagalan usaha
§  Suatu usaha perkebunan berdaya saing global karena sangat efisien
§  Integrasi ternak dengan tanaman perkebunan/industri kelapa sawit, Integrasi ternak dengan perkebunan dikembangkan berdasarkan konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) dengan cara:
a.       Limbah perkebunan dalam hal ini kebun sawit seperti solid, pelepah, dan bungkil sawit dimanfaatkan sebagai pakan,
b.      Kotoran ternak dan limbah sawit non pakan didekomposisi menjadi kompos untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah,
c.       Penggembalaan ternak diarahkan untuk memakan tanaman liar/gulma
d.      Sumber pakan berupa hijauan diperoleh dari area perkebunan dan juga dari produk sampingan olahan sawit seperti pelepah, solid, dan bungkil sawit. Produk sampingan tersebut sangat bermanfaat karena tersedia sepanjang tahun tidak seperti hijauan yang menjadi sangat terbatas pada saat musim kemarau (Priyanti, 2007).
C.    Integrasi Sawit Sapi
Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan pendekatan konsep LEISA (Low Ekternal Input System Agriculture), di mana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Oleh karena itu, program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos sebagai penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan.
Pemanfaatan limbah pertanian untuk pengembangan ternak ruminansia (sapi) pada umumnya dilakukan melalui sistem integrasi, yang dikenal dengan food feed system atau crop livestock system. Pola ini dapat dilakukan secara in situ, seperti sistem integrasi padi ternak (SIPT) atau sistem integrasi sapi di kebun kelapa sawit yang dikembangkan oleh Puslitbang Peternakan (Diwyanto et al., 2004). Hal ini juga dapat dilakukan secara ex situ dengan membangun pabrik pakan berbasis limbah pertanian dan agro industri (Wahyono dan Anam, 2007).
Pendekatan yang lebih unik dengan pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA) sehingga terjadi usaha peternakan yang zero waste dan zero cost juga telah dikembangkan oleh peternakan sapi perah di Surakarta. Dalam hal ini konsep LEISA adalah suatu konsep yang menggabungkan prinsip agro-ekologi serta pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat.  Konsep LEISA secara singkat diuraikan sebagai berikut: (i) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya (pakan) lokal, (ii) mengoptimalkan daur ulang (zero waste), (iii) meminimalkan kerusakan lingkungan, (iv) mendiversikan usaha, (v) sasaran produksi stabil, memadai dalam jangka panjang, serta (vi) menciptakan kemandirian (Suharto, 2007). Berkaitan dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan, sektor pertanian mempunyai keterkaitan erat dengan sektor peternakan terutama dalam pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan. Di samping itu, kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai biogas dan pupuk organik bagi pertinnbuhan tanaman pertanian. Hubungan timbal balik ini lebih dikenal dengan integrated farming system (keterpaduan peternakan dan tanaman pertanian) dengan prinsip zero waste.
Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan pendekatan konsep LEISA (Low Ekternal Input System Agriculture), di mana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Di samping konsep tersebut di atas, dalam pembangunan peternakan diperlukan konsep pembangunan peternakan yang berkelanjutan. Syarat dari pembangunan peternakan yang berkelanjutan tersebut adalah produksi bibit dan penyediaan pakan dapat disediakan oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu, program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos sebagai penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan.
Strategi pengembangan usaha peternakan sapi dapat dilakukan melalui integrasi industri pengolahan bahan pakan dan usaha ternak dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya ternak dan bahan baku lokal setempat. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan memperhatikan (i) pakan sumber serat harus dapat disediakan oleh peternak sendiri, (ii) pakan tambahan (’konsentrat’) disusun berdasarkan perhitungan  feed cost per gain, atau dengan memperhitungkan biaya untuk menghasilkan bobot badan tertentu, serta (iii) menghindari atau meminimalkan penggunaan bahan-bahan ’impor’. Inovasi yang dipilih harus mampu meningkatkan daya saing produk, berkelanjutan, serta mampu merespon ’dinamika pasar’ dan ketersediaan bahan-bahan untuk setiap musim (Diwyanto dan Priyanti, 2008).
Pengelolaan tanaman melalui sumberdaya terpadu merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan efisiensi usaha melalui penerapan komponen teknologi yang memiliki efek sinergistik. Dengan semakin berkembangnya dan kemajuan teknologi, maka penggunaan input luar dalam sistem usahatani dapat diminimalkan untuk memberikan tambahan kontribusi terhadap pendapatan keluarga petani. Pada dasarnya pemanfaatan potensi sumberdaya lokal sebagai sumber pakan ternak perlu ditingkatkan agar tidak ada limbah pertanian yang tidak termanfaatkan. Pelaksanaan kegiatan sistem integrasi usaha ternak dengan tanaman pangan, terutama padi dan jagung, perlu dikembangkan di daerah-daerah lain dengan memperhatikan kondisi spesifik lokasi.



III.               KESIMPULAN
Keberhasilan suatu program perlu didukung oleh keterlibatan masyarakat sejak awal dengan mempertimbangkan aspek kearifan lokal. Pendekatan aspek sosial melalui pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan karena peningkatan produksi sapi nasional harus searah dengan perbaikan taraf hidup masyarakat untuk dapat hidup lebih sejahtera. Inovasi teknologi pakan murah berbasis sumberdaya lokal dan limbah pertanian, perkebunan dan agro industri perlu dilakukan dalam rangka menyediakan sumber bahan baku pakan bagi ternak ruminansia (sapi) secara berkelanjutan. Hal ini menjadi bahan dasar dalam penyusunan pakan komplit yang murah dan berkualitas sehingga terjangkau oleh masyarakat. Inovasi sistem integrasi tanaman-ternak melalui pendekatan zero waste perlu dilakukan untuk dapat mencapai usaha peternakan yang mendekati zero cost. Usaha cow calf operation yang terintegrasi dengan usaha pembesaran atau penggemukan hanya dapat terus berkembang apabila biaya pakan dapat ditekan serendah mungkin, atau eksternal input diminimalkan.


DAFTAR PUSTAKA
Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, MATHIUS, I. W. Dan Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit Sapi. Bengkulu, 9 – 10 September 2003. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Provinsi Bengkulu, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.

Diwyanto, K dan Priyanti, A. 2008.Keberhasilan Pemanfaatan Sapi Bali Berbasis Pakan Lokal dalam Pengembangan Usaha Sapi Potong di Indonesia. Wartazoa. 18 (1) : 2008 24-45.
Mayadewi, NA. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. Jurnal Agritrop. 28(4): 163-169.
Saerang, J. L.P., Onibala, J. S.I.T., Elly, F. H, dan Laatung, S. 2011. Makalah Prosidingseminar Nasionalstrategi Pembangunan Peternakan Masa Depan melalui Pendekatan Eco-farming. Manado. 13 september 2011. Hlm. 123 – 130.
Suharto. 2007. Peternakan Sapi Perah dengan Pendekatan Zero Waste dan Zero Cost. Makalah disampaikan pada Panel Diskusi Pemberdayaan Masyarakat melalui Model Pengembangan Sapi Potong. Jakarta 14 Nopember 2007. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Ditjen Peternakan. Jakarta.
Suryana. 2007a. Pengembangan integrasi ternak ruminansia pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(1): 35−40.
Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani Terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

Wahyono, D.E. dan K. Aman. 2007. Pemanfaatan Limbah Pertanian Agroindustri dalam Agribisnis Sapi Bali. Makalah disampaikan pada Panel Diskusi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Model Pengembangan Sapi Potong. Jakarta, 14 Nopember 2007. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Ditjen Peternakan, Jakarta