MAKALAH
“Konsep
LEISA untuk Pengelolaan Sumberdaya Pakan di Lahan Kering Perkebunan”
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pakan oleh Prof. Dr.
Ir. Sumarsono, MS
Oleh
:
Nurul
Frasiska 23010114410004
Dwi
Wijayanti 23010114410008
Rochayah 23010114410014
PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU TERNAK
PROGRAM
PASCASARJANA
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Negara-negara
maju seperti Australia, New Zealand dan negara-negara di Amerika Selatan
mengembangkan industri peternakan dengan cara memanfaatkan padang penggembalaan
karena ketersediaan lahan yang masih luas sebagai area penggembalaan ternak. Negara-negara
Eropa mengembangkan industri peternakan bertumpu pada kelimpahan produksi biji-bijian.
Namun dengan kenaikan harga minyak bumi dan dalam upaya mengurangi pemanasan
global, sebagian biji-bijian tersebut dipergunakan untuk memproduksi bioetanol.
Hal ini secara langsung berdampak terhadap meningkatnya harga pangan dunia,
termasuk daging sapi dan susu. Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak mempunyai
areal yang luas untuk padang penggembalaan, kecuali di NTT, NTB dan beberapa
wilayah lain di Kawasan Timur Indonesia (Diwyanto dan Priyanti, 2008).
Disamping itu, produksi biji-bijian masih sangat terbatas, bahkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan masih harus mengimpor dalam jumlah yang cukup besar. Oleh
karena itu pengembangan ternak ruminansia di Indonesia harus memanfaatkan
sumber serat, energi dan protein yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara
optimal, yaitu limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri.
II.
PEMBAHASAN
A.
Konsep LEISA
(Low External Input Sustainable Agriculture)
Konsep
LEISA (Low External Input
Sustainable Agriculture) sebagai
arah baru bagi pertanian konvensional (HEIA
: High External Input Agriculture), sangat cocok dilaksanakan pada sistim
pertanian negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengingat negara kita
dengan kekayaan dan
keanekaragaman sumber daya alam yang terkandung di tanah air kita sangat
memungkinkan konsep LEISA ini menjadi konsep pertanian masa depan yang
diharapkan mampu mengantarkan bangsa kita menjadi bangsa yang besar dengan
tingkat kemakmuran dan kemandirian yang lestari sehingga mampu bersaing
menghadapi persaingan bebas pada waktu yang akan datang.
Konsep
LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agro-ekologi serta pengetahuan
dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional (Suwandi, 2005). Agro-ekologi
merupakan studi holistik tentang ekosistim pertanian termasuk semua unsur lingkungan
dan manusia. Dengan pemahaman akan hubungan dan proses ekologi, agroekosistim
dapat dimanipulasi guna peningkatan produksi agar dapat menghasilkan secara
berkelanjutan, dengan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan bagi
lingkungan maupun sosial serta meminimalkan input eksternal. Secara singkat
konsep LEISA dapat dijabarkan sebagai berikut:
LEISA
mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut (Suryana, 2007):
- Berusaha mengoptimalkan sumber
daya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem
usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga
saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
- Berusaha mencari cara
pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk
melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan
meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia. Dalam
memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada
maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan.
LEISA (Low external
input sustainable agriculture) tidak bisa dipresentasikan
sebagai solusi mutlak terhadap masalah-masalah pertanian dan lingkungan yang
mendadak di dunia ini, tetapi LEISA bisa memberikan kontribusi yang berharga
untuk memecahkan beberapa permasalahan tersebut: LEISA terutama merupakan suatu
pendekatan pada pembangunan pertanian yang ditujukan pada situasi di
daerah-daerah pertanian tadah hujan yang terabaikan oleh pendekatan-pendekatan
konvensional (Mayadewi, 2007).
Konsep LEISA (Low
Eksternal Input Sustainable Agriculture) merupakan penyangga
pola pertanian terpadu. Konsep LEISA yang dilaksanakan akan melahirkan
manfaat dan keuntungan, yaitu :
·
Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
·
Maksimalisasi Daur Ulang (Zero Waste)
·
Minimalisasi Kerusakan Lingkungan (Ramah Lingkungan)
·
Diversifikasi Usaha
·
Pencapaian Tingkat Produksi Yang Stabil Dan Memadai
Dalam Jangka Panjang
·
Menciptakan Kemandirian
Tekhnologi tepat guna dalam penerapan konsep LEISA adalah
:
·
Bagaimana mengubah limbah pertanian
menjadi sumber daya (Feed) dan pemanfaatannya.
·
Bagaimana mengubah limbah peternakan
menjadi sumberdaya (Compost) dan pemanfaatannya baik sektor pertanian
tanaman pangan, perkebunan,kehutanan maupun untuk budidaya perikanan (Suharto,
2004).
B. LEISA Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pakan
Lahan Kering Perkebunan
Arah Integrated Farming System yang harus dilakukan adalah
menuju ke konsep LEISA (Low External Input Sustainable
Agriculture) yaitu konsep perkebunan yang terpadu, berkesinambungan,
menekan penggunaan input Ekternal dan memaksimalkan penggunaan input internal
sehingga akan diperoleh suatu system usaha perkebunan yang efisien dan berdaya
saing global. Perlahan tapi pasti di integrasi pertanian, perkebunan dan
peternakan akan menuju ke konsep LEISA dengan tujuan :
§ Suatu usaha perkebunan yang terpadu
§ Suatu usaha perkebunan ramah
lingkungan
§ Suatu usaha perkebunan yang tanpa
limbah
§ Suatu usaha perkebunan berbasis
lokal sehingga tahan menghadapi krisis
§ Suatu usaha perkebunan menghasilkan
produk organik yang berkualitas baik dan mempunyai harga lebih baik
§ Suatu usaha perkebunan yang
mempunyai diversifikasi berbagai produk; sehingga mengurangi resiko kegagalan
usaha
§ Suatu usaha perkebunan berdaya saing
global karena sangat efisien
§ Integrasi ternak dengan tanaman
perkebunan/industri kelapa sawit, Integrasi ternak dengan perkebunan
dikembangkan berdasarkan konsep LEISA (Low External Input
Sustainable Agriculture) dengan cara:
a. Limbah perkebunan dalam hal ini
kebun sawit seperti solid, pelepah, dan bungkil sawit dimanfaatkan sebagai
pakan,
b. Kotoran ternak dan limbah sawit non
pakan didekomposisi menjadi kompos untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah,
c. Penggembalaan ternak diarahkan untuk
memakan tanaman liar/gulma
d. Sumber pakan berupa hijauan
diperoleh dari area perkebunan dan juga dari produk sampingan olahan sawit
seperti pelepah, solid, dan bungkil sawit. Produk sampingan tersebut sangat
bermanfaat karena tersedia sepanjang tahun tidak seperti hijauan yang menjadi
sangat terbatas pada saat musim kemarau (Priyanti, 2007).
C. Integrasi Sawit Sapi
Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan
dengan pendekatan konsep LEISA (Low Ekternal Input System Agriculture),
di mana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi
keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Oleh karena itu, program keterpaduan
antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan
teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih
efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini
menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang tersedia secara
optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil panen yang
tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos sebagai
penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan.
Pemanfaatan limbah pertanian untuk
pengembangan ternak ruminansia (sapi) pada umumnya dilakukan melalui sistem
integrasi, yang dikenal dengan food feed system atau crop
livestock system. Pola ini dapat dilakukan secara in situ,
seperti sistem integrasi padi ternak (SIPT) atau sistem integrasi sapi di kebun
kelapa sawit yang dikembangkan oleh Puslitbang Peternakan (Diwyanto et
al., 2004). Hal ini juga dapat dilakukan secara ex situ dengan
membangun pabrik pakan berbasis limbah pertanian dan agro industri (Wahyono dan
Anam, 2007).
Pendekatan yang lebih unik dengan
pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA)
sehingga terjadi usaha peternakan yang zero waste dan zero
cost juga telah dikembangkan oleh peternakan sapi perah di Surakarta.
Dalam hal ini konsep LEISA adalah suatu konsep yang menggabungkan prinsip agro-ekologi
serta pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat. Konsep LEISA secara singkat diuraikan sebagai
berikut: (i) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya (pakan) lokal, (ii)
mengoptimalkan daur ulang (zero waste), (iii) meminimalkan kerusakan lingkungan,
(iv) mendiversikan usaha, (v) sasaran produksi stabil, memadai dalam jangka
panjang, serta (vi) menciptakan kemandirian (Suharto, 2007). Berkaitan dengan pembangunan yang
berwawasan lingkungan, sektor pertanian mempunyai keterkaitan erat dengan
sektor peternakan terutama dalam pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan. Di
samping itu, kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai biogas dan pupuk organik
bagi pertinnbuhan tanaman pertanian. Hubungan timbal balik ini lebih dikenal
dengan integrated farming system (keterpaduan peternakan dan tanaman pertanian)
dengan prinsip zero waste.
Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan
dengan pendekatan konsep LEISA (Low Ekternal Input System Agriculture),
di mana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi
keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Di samping
konsep tersebut di atas, dalam pembangunan peternakan diperlukan konsep pembangunan
peternakan yang berkelanjutan. Syarat dari pembangunan peternakan yang berkelanjutan
tersebut adalah produksi bibit dan penyediaan pakan dapat disediakan oleh
wilayah tersebut. Oleh
karena itu, program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus
didukung dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang
dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya
sistem keterpaduan ini menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang
tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa
pakan serta hasil panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat
didekomposisi menjadi kompos sebagai penyedia unsur hara untuk meningkatkan
kesuburan lahan.
Strategi pengembangan usaha
peternakan sapi dapat dilakukan melalui integrasi industri pengolahan bahan
pakan dan usaha ternak dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya ternak dan
bahan baku lokal setempat. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan memperhatikan
(i) pakan sumber serat harus dapat disediakan oleh peternak sendiri, (ii) pakan
tambahan (’konsentrat’) disusun berdasarkan perhitungan feed cost
per gain, atau dengan memperhitungkan biaya untuk menghasilkan bobot badan
tertentu, serta (iii) menghindari atau meminimalkan penggunaan bahan-bahan
’impor’. Inovasi yang dipilih harus mampu meningkatkan daya saing produk,
berkelanjutan, serta mampu merespon ’dinamika pasar’ dan ketersediaan bahan-bahan
untuk setiap musim (Diwyanto dan Priyanti,
2008).
Pengelolaan tanaman melalui
sumberdaya terpadu merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan
efisiensi usaha melalui penerapan komponen teknologi yang memiliki efek
sinergistik. Dengan semakin berkembangnya dan kemajuan teknologi, maka
penggunaan input luar dalam sistem usahatani dapat diminimalkan untuk
memberikan tambahan kontribusi terhadap pendapatan keluarga petani. Pada
dasarnya pemanfaatan potensi sumberdaya lokal sebagai sumber pakan ternak perlu
ditingkatkan agar tidak ada limbah pertanian yang tidak termanfaatkan.
Pelaksanaan kegiatan sistem integrasi usaha ternak dengan tanaman pangan,
terutama padi dan jagung, perlu dikembangkan di daerah-daerah lain dengan
memperhatikan kondisi spesifik lokasi.
III.
KESIMPULAN
Keberhasilan suatu
program perlu didukung oleh keterlibatan masyarakat sejak awal dengan mempertimbangkan
aspek kearifan lokal. Pendekatan aspek sosial melalui pemberdayaan masyarakat
perlu dilakukan karena peningkatan produksi sapi nasional harus searah dengan
perbaikan taraf hidup masyarakat untuk dapat hidup lebih sejahtera. Inovasi
teknologi pakan murah berbasis sumberdaya lokal dan limbah pertanian,
perkebunan dan agro industri perlu dilakukan dalam rangka menyediakan sumber
bahan baku pakan bagi ternak ruminansia (sapi) secara berkelanjutan. Hal ini
menjadi bahan dasar dalam penyusunan pakan komplit yang murah dan berkualitas
sehingga terjangkau oleh masyarakat. Inovasi sistem integrasi tanaman-ternak melalui
pendekatan zero waste perlu dilakukan untuk dapat mencapai
usaha peternakan yang mendekati zero cost. Usaha cow
calf operation yang terintegrasi dengan usaha pembesaran atau
penggemukan hanya dapat terus berkembang apabila biaya pakan dapat ditekan serendah
mungkin, atau eksternal input diminimalkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, MATHIUS, I. W. Dan
Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa
sawit-sapi. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit Sapi. Bengkulu,
9 – 10 September 2003. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Provinsi Bengkulu,
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.
Diwyanto, K dan Priyanti, A. 2008.Keberhasilan Pemanfaatan Sapi Bali Berbasis
Pakan Lokal dalam Pengembangan
Usaha Sapi Potong di Indonesia.
Wartazoa. 18 (1) : 2008
24-45.
Mayadewi, NA. 2007. Pengaruh jenis
pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung
manis. Jurnal Agritrop. 28(4): 163-169.
Saerang, J. L.P., Onibala, J. S.I.T., Elly, F. H,
dan Laatung, S. 2011. Makalah Prosidingseminar Nasionalstrategi
Pembangunan Peternakan Masa Depan melalui Pendekatan Eco-farming. Manado. 13 september 2011. Hlm. 123 – 130.
Suharto. 2007. Peternakan Sapi Perah
dengan Pendekatan Zero Waste dan Zero Cost. Makalah
disampaikan pada Panel Diskusi Pemberdayaan Masyarakat melalui Model
Pengembangan Sapi Potong. Jakarta 14 Nopember 2007. Puslitbang Peternakan
bekerjasama dengan Ditjen Peternakan. Jakarta.
Suryana. 2007a.
Pengembangan integrasi ternak ruminansia pada perkebunan kelapa
sawit. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(1): 35−40.
Suwandi.
2005. Keberlanjutan Usaha Tani Terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di
Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. Disertasi. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor
Wahyono, D.E. dan K. Aman. 2007. Pemanfaatan Limbah Pertanian
Agroindustri dalam Agribisnis Sapi Bali. Makalah disampaikan pada Panel Diskusi
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Model Pengembangan Sapi Potong. Jakarta, 14
Nopember 2007. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Ditjen Peternakan,
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar